Disampaikan dalam Program Pendidikan Teologia Jemaat (PTJ) di GKI Pondok Indah pada tgl 3 Maret 2005 | Dalam rangka Pendidikan Teologia Jemaat (PTJ), pendidikan seks diambil sebagai salah satu tema dalam rangka melihat pandangan Alkitab mengenai seksualitas. Karena itu, materi ini lebih menekankan sisi teologisnya ketimbang aspek biologis atau aspek yang lain. | | Seks yang indah dan suci | Pada waktu penciptaan, Allah menciptakan mahluk hidup dengan jenis kelamin yang berbeda. Pada binatang ada jantan dan betina, dan pada manusia ada laki-laki dan perempuan. Yang menarik adalah, bahwa seusai penciptaan Alkitab mencatat bahwa Allah melihat semua yang diciptakan-Nya itu sungguh amat baik! (Kej. 1:31). Pada waktu itu dosa belum masuk, sehingga semua terjadi dalam kesucian. Hal ini berlawanan dengan pandangan umum yang sering kita dengar, bahwa seks itu kotor, sesuatu yang tabu untuk dipercakapkan. Berangkat dari pernyataan Firman Tuhan, kita kembali disadarkan, bahwa seks itu sesungguhnya adalah sesuatu yang baik dan suci. Bahwa seks sering diselewengkan sehingga menjadi sesuatu yang tidak baik adalah sebuah kenyataan. Namun itu bukan berarti seksnya yang tidak baik. Dosa yang di dalam manusia yang kemudian menyelewengkan seks itu menjadi tidak baik. (Bdk. Roma 7:20). Alat seksual adalah ciptaan Allah yang indah. Karena itu harus dijaga dan dirawat dengan baik. Ini adalah bagian pertanggungjawaban kita pada Sang Pencipta. Kebersihan dan kesehatan alat seksual harus terus kita jaga sebagaimana kita menjaga kebersihan dan kesehatan bagian tubuh yang lain. | | Pornografi | Bukannya kebetulan Alkitab berbicara tentang ketelanjangan dalam konteks suami-isteri (Kej. 2:25). Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dengan bentuk tubuh yang berbeda. Pada awalnya bentuk tubuh manusia itu sama, kecuali alat seksualnya. Namun pada masa remaja, Allah mempersiapkan tubuh manusia, termasuk alat seksual, untuk memenuhi panggilannya menjadi ayah dan ibu. Karena itu, pada laki-laki terjadi perkembangan otot yang luar biasa agar dapat melindungi perempuan dan mencari nafkah (dalam konteks zaman dulu, berburu). Begitu juga dengan tubuh perempuan, berkembang sedemikian rupa dalam rangka menjadi seorang ibu. Selain itu, tubuh manusia adalah sebuah persembahan yang indah dari manusia kepada pasangannya. Itulah sebabnya konteks ketelanjangan adalah relasi suami-isteri. Tubuh kita adalah untuk pasangan kita dan bukan yang lain. Karena itu kita dilarang memperlihatkan atau melihat tubuh dan alat seksual orang lain selain pasangan kita nanti (Bdk 1 Kor. 7:4). Eksplorasi tubuh manusia untuk dipertontonkan pada orang lain jelas menyalahi rencana Allah dengan tubuh manusia. Hal ini menjadi menarik bila dikaitkan dengan pornografi. Pornografi (percabulan) adalah upaya membangkitkan hasrat seksual melalui tulisan maupun gambar yang berhubungan dengan aktifitas seksual dan ketelanjangan. Selain menyalahi rencana Allah dengan tubuh manusia, pornografi amat berbahaya bagi remaja. Sebagai mahluk yang sedang aktif secara seksual, pornografi membuat remaja tidak dapat mengendalikan hasrat seksualnya dan melakukan dosa seksual (Mt. 5:27-28). | | Seks dan Panggilan Allah | Ketika manusia lahir, maka ia dikenal sebagai laki-laki atau perempuan dari alat kelaminnya. Karena itu, seksualitas memang berangkat dari sana. Tetapi seksualitas sendiri sesungguhnya bukan semata alat kelamin. Ia juga adalah budaya, peran, psikososial selain tentu juga biologis. Berbicara soal seksualitas ini, bukannya kebetulan bahwa ketika Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, ternyata Tuhan justru mengawali dengan panggilan untuk menjadi penolong dan secara sosial tidak menyendiri (Kej. 2:19). Jadi perbedaan jenis kelamin (seks) tidak semata berada dalam konteks persetubuhan, tetapi di dalamnya ada panggilan yang lebih luas. Beberapa panggilan yang berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin adalah:- Panggilan untuk menjadi sahabat dan penolong, yang nantinya menyempit menjadi relasi suami-isteri. Laki-laki dan perempuan memang diciptakan dengan segala perbedaan, bukan hanya biologis, tetapi juga psikologis, agar mereka bisa hidup berdampingan, bersahabat dan saling menolong dan melengkapi.
- Panggilan untuk menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya (Kej. 1:28). Di sini kita lalu melihat persoalan peran (role) yang harus muncul di antara suami-isteri. Laki-laki dan perempuan memang setara (Kej. 2:18), namun sekaligus berbeda, bukan hanya dalam alat seksnya, tetapi juga dalam perannya. Menekankan perbedaan dan mengingkari kesetaraan jelas keliru, tetapi menekankan kesetaraan dan mengingkari perbedaan (termasuk dalam peran) juga sama kelirunya. Pada zaman dahulu, di mana orang masih bekerja mengandalkan ototnya, maka perbedaan peran ini nampak nyata. Di zaman, ketika manusia bekerja lebih mengandalkan otaknya, memang perbedaan ini tidak terlalu kentara. Tetapi tetap harus disadari bahwa ayah bukanlah ibu dan ibu bukanlah ayah. Keduanya memiliki peran yang berbeda. Nah kesetaraan dalam perbedaan inilah yang harus dikelola dengan baik sejak remaja sampai menjadi suami-isteri di masa kemudian.
- Panggilan universal setiap anak Tuhan untuk saling mengasihi (Yoh. 15:17). Ketika seorang laki-laki dan perempuan menjadi suami-isteri, maka panggilan universal ini bukannya hilang, tetapi justru mendapat tempat yang khusus dan istimewa. Mereka bisa mengekspresikan kasih yang paling dalam, yang tidak dapat dilakukan pada yang bukan pasangannya. Di sinilah relasi seksual lalu mendapat tempat yang istimewa, menjadi salah satu wadah ekspresi kasih pasutri yang paling dalam. Justru karena relasi seksual tidak bisa dilepaskan dari panggilan untuk mengasihi, maka kita harus bersabar untuk mewujudkan relasi seksual sampai pernikahan. Mewujudkan relasi seksual di luar pernikahan bukanlah tanda kasih, tetapi tanda ketidaksabaran yang berlawanan dengan kasih (Bdk. 1 Kor. 13:14).
- Panggilan universal untuk memuliakan Allah dengan tubuh kita (1 Kor. 6:20). Jelas tubuh termasuk di dalamnya adalah alat seksual. Dengan demikian, relasi seksual memang tidak bisa dilepaskan dari tujuan untuk memuliakan Allah. Di sinilah Allah lalu berbicara mengenai kekudusan pernikahan dan khususnya kekudusan relasi seksual pasutri (Ibr. 13:4).
| Tanggung Jawab | Dalam terang panggilan Tuhan, maka relasi seksual memang bukan lagi sesuatu yang terjadi begitu saja (spontan), tetapi harus dipikirkan dampak dan tanggung jawab yang melekat di dalamnya. Termasuk tanggung jawab terhadap hadirnya anak-anak yang merupakan buah dari relasi seksual. Sebagai bagian dari tanggung jawab ini, maka:
- relasi seksual hanya boleh terjadi dalam pernikahan;
- relasi seksual tidak bisa dilepaskan dari perencanaan keluarga;
- relasi seksual harus diawali dengan pemeriksaan kesehatan menjelang pernikahan, khususnya terhadap penyakit yang punya dampak pada janin; dan
- relasi seksual harus memenuhi standar kebersihan dan kesehatan (tanggung jawab terhadap pasangan).
| Berpacaran dan Menjaga Kesucian | Sebagaimana Tuhan maksudkan, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk berkawan dan saling melengkapi. Pertemanan ini kemudian dapat menyempit menjadi relasi suami-isteri. Untuk menuju ke sana, laki-laki dan perempuan perlu saling mengenal terlebih dahulu. Masa perkenalan adalah masa berpacaran. Di sini kita saling menjajagi kecocokan masing-masing untuk nantinya membina hidup bersama sebagai suami-isteri. Dalam masa berpacaran, laki-laki dan perempuan mencoba untuk tumbuh bersama secara intelektual, emosional dan spiritual. Banyak orang memakai masa perkenalan ini untuk juga ‘berkenalan’ secara seksual. Jelas ini melanggar hukum Tuhan. Tuhan selalu menempatkan relasi seksual dalam konteks pernikahan (Bdk. Kej. 2:24). Mewujudkan relasi seksual di luar pernikahan bukan hanya melanggar hukum Tuhan, tetapi juga merugikan, karena: Tidak selalu masa berpacaran berakhir dengan pernikahan. Bila kita mewujudkan relasi seksual dalam kerangka pernikahan, maka kita bukan sekadar mendapatkan partner seks, tetapi orang yang sungguh mengasihi kita. | | Seks yang Aman | Biasanya orang berbicara tentang seks yang aman dalam arti berhubungan seks dengan siapapun asal tidak menjadi sakit atau menanggung akibat yang buruk dari relasi seksual tersebut. Karena itu seks aman biasanya berhubungan dengan alat pencegahan kehamilan. Tetapi sesungguhnya tidak ada seks yang aman yang berada dalam kerangka rencana Allah. Yaitu seks dalam pernikahan dan dalam rangka mewujudkan panggilan Allah melalui relasi seksual tersebut! (rudjak/skt) | | |
0 komentar:
Posting Komentar