Saya amat berterimakasih karena diberi kesempatan untuk mengambil bagian di dalam acara pembinaan bagi para anggota Majelis Jemaat, komisi dan aktivis GKI Pondok Indah. Terima kasih saya itu terutama disebabkan oleh karena keyakinan bahwa saya pasti akan belajar banyak sekali dari kegiatan pembinaan ini. Selama masa pelayanan saya yang tidak dapat dikatakan pendek, saya tentu telah ikut serta terlibat dalam banyak acara pembinaan semacam ini, baik yang dilakukan di jemaat saya sendiri maupun oleh jemaat-jemaat bahkan gereja-gereja yang lain. Namun demikian dengan tulus saya kemukakan, bahwa kegiatan pembinaan GKI Pondok Indah ini memberi kesan yang istimewa. Kegiatan pembinaan ini dilaksanakan dalam rangka mensosialisasikan Visi-Misi GKI Pondok Indah, yang walaupun masih perlu disempurnakan terus-menerus, menurut penilaian saya telah dirumuskan dengan cukup baik. Tidak banyak jemaat yang telah merumuskan visi-misi mereka dan di antara yang tidak banyak itu, lebih sedikit lagi yang merumuskan visi-misi mereka “sebaik” yang dilakukan oleh jemaat GKI Pondok Indah. Dan akhirnya, di antara dari yang sedikit itu, jauh lebih sedikit lagi yang merasa perlu untuk mensosialisasikannya sehingga bisa menjadi shared vision atau common vision bersama. Yang termasuk di antara yang sedikit dari yang sedikit itu adalah GKI Pondok Indah. Itulah sebabnya saya mengatakan agar anda merasa “bangga” (bukan sombong) untuk dapat memilikinya. Sebab hanya bila ada kebanggaan yang tulus dan sehat, maka akan ada upaya yang tulus dan sehat pula untuk tidak menjadikan apa yang kita banggakan itu mubazir atau sia-sia. Dengan disertai catatan bahwa setelah tahap formulasi dan sosialisasi, masih ada tahap lebih lanjut lagi, yaitu tahap aksi/aplikasi. Tahap ini amat penting, sebab banyak orang berfikir bahwa asal saja visi-misi telah berhasil dirumuskan, dan kemudian diumumkan ke mana-mana, maka semuanya akan terlaksana dengan sendirinya. Saya katakan: “Tidak!” Visi dan misi baru akan ada manfaatnya bila hal itu telah direalisasikan. Di lain pihak, aksi atau kegiatan yang kita lakukan baru ada maknanya bila ia bukan sekadar suatu bentuk “aktivisme” (asal kelihatan repot), tetapi dilandasi oleh konsep titik-tolak dan tujuan yang jelas dan benar. Bahkan setelah aksi/aplikasi/realisasi itupun, kita tidak boleh berhenti. Setelah pelaksanaan, kita harus melakukan penilaian. Karena setiap aksi harus diikuti dengan evaluasi. Evaluasi yang jujur adalah dasar untuk melakukan reformulasi, dan dengan reformulasi ini bergulirlah siklus yang baru. Sebab reformulasi membutuhkan resosialisasi, dan resosialisasi melandasi reaplikasi dari visi-misi baru dan begitu seterusnya. | Pembaruan | Semua ini saya katakan bukan oleh karena saya menganggap anda belum mengetahuinya, tetapi semata-mata oleh karena saya harus berbicara mengenai pembaruan, “Pembaruan Gereja Menuju Masa Depan.” Saya ingin menekankan, bahwa pembaruan merupakan proses panjang dan bergulir serta mengalir terus-menerus tanpa henti. Sebab pada saat proses itu berhenti, maka yang “baru” akan segera menjadi “usang.” Pembaruan melahirkan pembaruan. Dan sebagaimana kita maklumi, karena di situlah letak jiwa dan vitalitas kita sebagai gereja reformasi: Gereja reformasi harus terus-menerus mereformasi diri tanpa henti! Hal lain yang mengesankan diri saya dari kegiatan pembinaan ini adalah sistematika atau urut-urutannya, bahwa rangkaian pembinaan ini dimulai dengan pembahasan mengenai Kerajaan Allah, kemudian diikuti dengan pembahasan mengenai Konteks Dunia dan Masyarakat di Sekitar Gereja dan ditutup dengan pembahasan mengenai gereja itu sendiri, yaitu Pembaruan Gereja Menuju Masa Depan. Apa yang mengesankan? Sistematika itu sesungguhnya menggambarkan suatu wawasan eklesiologi maupun misiologi yang amat menarik, yang berbeda dari wawasan-wawasan tradisional/klasik yang telah ada selama ini. Biasanya orang berfikir menurut pola ini, yaitu: Allah – > Gereja — > Dunia. Dalam skema ini, gereja menjadi sentral dan fokus pada dirinya, oleh karena ialah sasaran dan sekaligus sarana tindakan penyelamatan Allah. Konsekuensinya, dunia hanya bisa diselamatkan melalui gereja. Extra ecclesiam nulam salus. Gereja menjadi sole agent dan sole distributor dari keselamatan Allah. Dunia harus masuk dan di-‘gereja’-kan. Konsep diri seperti inilah yang sering dituduh sebagai akar penyebab dari triumfalisme, introversi, dan eksklusivisme gereja, yang telah dianggap usang di tengah-tengah paradigma kesadaran baru dan realitas baru dewasa ini. | Skema Baru | Sedangkan skema baru yang saya maksud adalah: Allah —> Dunia —> Gereja. Di sini yang ditekankan adalah fungsi instrumental dan fungsi misioner gereja. Gereja bukan tujuan pada dirinya. Ia cuma alat. Alat tentu saja penting, namun demikian kredibilitas serta validitasnya diukur dari kemampuan berfungsi sebagai alat. Gereja harus keluar ke dunia. Ungkapan yang terkenal berkaitan dengan ini adalah, “Gereja tidak cuma punya misi. Gereja adalah misi.” “Gereja tidak ada untuk dirinya sendiri. Ia ada untuk dunia.” Ia hadir bukan untuk membesarkan dirinya, melainkan apabila perlu – seperti Kristus – ia justru harus bersedia mengosongkan diri (bnd. Filipi 2:8). Harapan saya amat besar bahwa kesadaran misioner (misi dalam arti seluas-luasnya) ini benar-benar menjiwai seluruh perumusan visi-misi kita serta seluruh kiprah kita bergereja! Ada catatan lain yang perlu saya sampaikan berkaitan dengan topik mengenai pembaruan gereja yang menjadi topik bahasan pada hari ini. Bila di atas telah saya kemukakan ‘dinamika’ yang terkandung dalam proses pembaruan, maka catatan saya ini adalah mengenai ‘dialektika’ yang ada di situ. Dengan kata lain, pembaruan gereja mempunyai dimensi ‘dinamika’ maupun ‘dialektika.’ Dialektika ini tidak boleh hilang ketika dinamika pembaruan kita sedang menggebu-gebu. Dialektika apa yang saya maksud? Yaitu dialektika antara ‘ortodoksi’ dan ‘relevansi.’ Ada yang mengatakan, dialektika antara ‘ortodoksi’ dan ‘ortopraksis.’ Pada satu pihak, gereja harus tetap gereja, di manapun dan kapanpun ia berada. Let the church be the church! Inilah dimensi ortodoksi itu. Ada yang tidak boleh berubah. Hakekatnya tidak berubah. Misi pokoknya tidak berubah. Motivasi panggilannya tidak berubah. Namun sekaligus dengan itu, gereja adalah gereja apabila ia benar-benar ber”inkarnasi” ke dunianya, mengidentifikasikan diri secara penuh dengan zamannya (bnd. Yohanes 1:14). GKI Pondok Indah, misalnya, tidak boleh hanya menjadi gereja di Indonesia, atau gereja di abad 21. GKI Pondok Indah harus benar-benar menjadi Gereja Indonesia; gereja abad 21! Dengan sepenuh hati. Dalam perspektif ortodoksi, di hadapan Allah, gereja menyatukan diri dan menjadi representasi dari Firman dan Misi Allah yang universal dan tidak berubah. Tetapi sekaligus dengan itu, di hadapan dunia, perspektif relevansi menuntut gereja menyatukan diri sepenuhnya dan menjadi representasi dari dunia dan zaman di mana ia berada. Menyelami kerinduan-kerinduannya. Mendalami frustasi dan agoni-agoninya. Menyuarakan jeritan-jeritan jiwanya, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, bila kita berbicara mengenai Pembaruan Gereja, ini sama sekali tidak berarti meninggalkan atau merombak semua yang kita warisi, dan mengusahakan segala sesuatunya “lain dari sebelumnya.” Tidak! Baru tidak menjamin akan menjadi lebih baik dan lebih benar. Sebab itu yang harus kita usahakan justru adalah: menanamkan benih yang lama (baca: yang murni dan mula-mula) ke tanah (baca: ke konteks) yang baru. | Pemberdayaan Gereja | Catatan berikutnya adalah bahwa persoalan mendesak kita sebenarnya bukanlah bagaimana gereja dalam 100 tahun ini?, tetapi memberdayakan gereja-gereja kita sekarang. Bagaikan baru saja terkena serangan stroke (itulah keadaan umum gereja-gereja kita sekarang!), kita mesti bersedia belajar dari awal lagi! Ini menuntut keuletan, keteguhan hati, kesabaran, kesungguhan dan perencanaan. Apa masalah-masalah besar yang sedang dihadapi gereja-gereja kita sekarang? Diagnosa amat penting! Menurut pengamatan saya, penyakit yang paling mendasar adalah: (a) insignifikansi; dan (b) irrelevansi. Tidak signifikan ke dalam. Baik pada gereja-gereja “tua” maupun gereja-gereja “kontemporer”. Pada yang saya sebut belakangan, memang kelihatan lebih ‘hidup’, tetapi apa lebih bermakna? Tidak relevan ke luar, ke sekitar. Bayangkan bagaimana bila mereka yang di luar itu memandang dan menilai kehadiran kita. Adakah kehadiran kita ada manfaatnya bagi mereka? Jadi untuk itu kita membutuhkan Reformasi, Pembaharuan. Untuk ini kita harus meluruskan beberapa “mitos” yang telah terlanjur mendarah-daging. Misalnya: - Mitos Kualitas vs Kuantitas. Isu ini telah memperparah polarisasi internal. Padahal, tidak perlu dipertentangkan. Malah yang terjadi pada kedua kubu, baik kualitas maupun kuantitas tidak meningkat secara signifikan.
- Mitos Liberal vs Evangelikal. Padahal yang ada adalah perbedaan nuansa saja, yang sebenarnya saling melengkapi.
- Kontroversi Tentang Baptisan. Ini adalah contoh yang amat jelas tentang betapa kita telah terjerat pada soal-soal sepele. Padahal: begitu pentingkah isu ini? Apa yang penting dari baptisan? Jalan keluar yang benar, bijak dan inklusif?
- Kontroversi Tentang Pekabaran Injil. Ribut di mulut, tapi apakah dilaksanakan dengan benar juga oleh mereka yang menggebu-gebu amat menekankannya?
- Kontroversi Tentang Ibadah. Bebas = liar? Tertib = Kering?
| Kecendrungan Abad 21 | Saya juga ingin mengingatkan mengenai arah kecenderungan abad 21 yang dilandasi oleh adanya perubahan-perubahan fundamental, radikal dan bersifat global. Dan itu semua akan ditandai dengan penekanan pada kecepatan dan ketepatan disertai dengan persaingan di semua sektor dan aras. Dalam kaitan ini unsur jasa dan pelayanan juga amat menentukan karena perkembangan masyarakat yang semakin pluralistis dan desentralis. Untuk itu, saya juga ingin menekankan perlunya penyesuaian diri, inovatif dan kreatif, luwes dan tanggap terhadap situasi di lingkungan kita, memanfaatkan serta mengembangkan nilai lebih yang kita miliki serta meningkatkan mutu pelayanan dan siap bersaing secara sehat. Namun untuk itu semua kita juga akan menghadapi musuh besar, yaitu masih adanya mentalitas kemapanan, kekakuan (rigidity), kenaifan dan kepicikan (eksklusivisme; uniformisme) di dalam diri kita sendiri. Akhirnya bagi gereja kita juga menghadapi konsekuensinya bahwa kita harus tetap dapat menjaga identitas diri kita dan ini tak bisa ditawar-tawar, tetapi sekaligus kita juga harus dapat memberi ruang bagi adanya perbedaan, inovasi dan kreativitas. Selain itu kita juga harus terbuka akan adanya keberagaman dan memberi ruang gerak bagi mereka yang pro-pembaharuan untuk menciptakan suatu komunitas yang eksemplaris serta mempunyai kesadaran sosial yang tinggi. | Catatan: Tulisan ini adalah ringkasan dari ceramah Pdt. Eka Darmaputera di GKI Pondok Indah pada 16 September 2000 dan karena isinya masih cukup relevan dengan situasi saat ini, maka tulisan ini kami sajikan kepada pembaca. (Red). | |
0 komentar:
Posting Komentar