TERORISME DI INDONESIA

2008
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Masalah yang sekarang ini sedang hangat diperbincangkan di forum internasional maupun forum nasional dan juga ditingkat perguruan tinggi adalah mengenai masalah TEROSISME. Masalah terosisme sebenarnya bukan merupakan hal baru. Sejarah membuktikan bahwa Fenomena gerakan terorisme yang berdimensi internasional sebenarnya telah eksis jauh sebelum pada masa sebelum Masehi. Pada zaman Yunani Kuno pada abad 4 Sebelum Masehi, terorisme sudah dijadikan sebagai sarana perjuangan politik. Memasuki zaman modern, terorisme eksis pertama kali dalam organisasi bernama IMRO atau International Macedonian Revolutionary Organization di Eropa pada tahun 1895. Sin Feun tahun 1904 kemudian melebarkan sayapnya menjadi IRA atau Irlandian Rebellion Army dan 1969 Japanese Red Armi atau JRA. Pada waktu-waktu berikutnya, gerakan terorisme terus meluas disertai kecanggihan sarana atau teknologi, organisasi dan penguatan jaringan. Mereka membentuk sub-sub kelompok atau istilah mafia. Itukuat dan rapi. Dulu belum seperti itu. Cuma dari segi tujuan hampir sama. Teroris dulu melakukan sesuatu secara profesional sesuai pesanan atau bayaran.
Masalah teroris muncuat kembali ketika terjadi peristiwa 11 september 2001 ketika 2 buah pesawat menghantam gedung WTC di Amerika yang mengakibatkan ribuan orang meninggal. Al-Qidah dituding sebagai dalang dibalik tragedi tersebut dan mereka dituduh sebagai teroris dunia. Inilah yang membangkitkan kembali diskusi mengenai terorisme di tingkat internasional. Sedang contoh nyata dari masalah terorisme yang dirasakan di Indonesia adalah ketika terjadinya bom dahsyat di Jalan Legian, Kuta (Bali), yang menewaskan lebih dari
180 orang.
Jeffrie Geovanie seorang Pemerhati masalah sosial-politik mengatakan bahwa ketika peristiwa ini terjadi banyak orang yang bertanya-tanya, sebenarnya ke mana arah terorisme yang dikembangkan di Tanah Air ini? Pertanyaan ini menjadi sangat relevan dalam upaya menyingkap dalang tragedi kemanusiaan itu. Tentu tidaklah mudah untuk melakukan penyingkapan itu. Namun demikian, banyak pihak mulai berspekulasi. Pertama, ledakan itu merupakan scenario membangun konflik antarmasyarakat beragama, minimal, antara Hindu Bali versus muslim. Di balik skenario konfliktual ini, setidaknya ada satu target yang dibidik, yaitu pemerintah memunyai legitimasi untuk menghantam siapa dan di mana pun yang mengimplementasikan nilai-nilai keagamaan secara ekstrem. Sejalan dengan karakter Hindu Bali tidak seperti itu, maka arahnya lebih kuat ke muslim garis keras sebagai komunitas yang harus dimusnahkan.
Arah skenario itu relatif menggambarkan adanya konspirasi dengan pihak asing yang memang menghendaki penindakan terhadap komunitas muslim garis keras karena dituding sebagai biang keladi terorisme. Jika konspirasi ini memang realitas politik, kita semakin memahami bahwa pemerintah kita terbuai dengan sejumlah fasilitas yang selalu ditawarkan pemerintah Amerika dalam kerangka mengajak sejumlah negara lain untuk mendukung kepentingan nasionalnya di tengah publik dunia. Itulah sikap politik Indonesia yang mencoba memahami politik luar negeri AS yang sering kita dengar dengan istilah carrot and stick. Bagi muslim beraliran garis keras ataupun moderat, arah skenario itu sangat merugikan citra agama yang dianutnya, di samping hak asasi individu setiap muslim. Karena itu, seperti kita saksikan reaksi bersama para aktivis muslim seperti dari Hisbuttahrir dan Partai Keadilan memandang perlu untuk meluruskan tudingan yang sarat dengan fitnah itu.
Bisa jadi, terutama kalangan lain, menilai bahwa reaksi muslim itu subjektif dan pembelaan diri. Namun, seperti yang disampaikan Sholahudin Wahid dan pengamat militer Juanda yang disiarkan Metro TV baru-baru ini, menegaskan bahwa komunitas muslim di Tanah Air tidak punya kemampuan untuk menciptakan bom berdaya ledak sedahsyat itu, di samping kalkulasi strategisnya. Kemampuan yang sangat profesional itu hanya ada dalam jajaran tentara. Karena itulah, Hamzah Haz langsung menuding Menko Polkam dan BIN sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Sikap Hamzah bisa jadi ditafsirkan sebagai sikap politiknya yang memang berusaha mencari dukungan publik muslim garis keras yang dalam perspektif pemilu mendatang menjadi target konstituennya. Tidak terlalu keliru penilaian itu. Namun, jika kita koreksi ke belakang atas aksi-aksi terror sejak Soeharto lengser, bisa dikatakan bahwa aparat keamanan dan badan intelijen selalu gagal dalam mengungkap tragedi itu. Apalagi menjaga agar tidak sampai terjadi peristiwa tragis itu. Kegagalan itu mengundang kecurigaan apakah memang tidak mampu menguak dan mencegahnya, atau di antara mereka memang menjadi aktor? Jika kita review profesionalitas mereka, terdapat kesimpulan yang boleh jadi terlalu simpelistis, yaitu sebagai spekulasi kedua para profesional bersenjata memang itulah para aktornya. Dengan kesimpulan ini, kita dapat memproyeksi bahwa aksi-aksi teroristik yang sudah terjadi tak akan mungkin berhasil disingkap, sekalipun pihak kepolisian bahkan presiden sendiri mengetahuinya.
Hal inilah yang paling tidak menggambarkan bagaimana keadaan terorisme di Indonesia, yang jika ditelita lebih mendalam lagi maka akan ditemukan lebih banyak faktor yang menyebabkan terjadinyanya TERORISME DI INDONESIA. Sebelum saya mengupas pandangan saya tentang masalah terorisme di Indonesia, maka ada baiknya terlebih dulu kita melihat apa sebenarnya itu terorisme?


II. LANDASAN TEORY
Definisi terorisme : Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.
Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya. Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi[. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut.
Menurut Black’s Law Dictionary : Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. mempengaruhi kebijakan pemerintah. c. mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan .
Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain[.
Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), definisi Terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate.” Doktrin membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen:
1. kekerasan
2. tujuan politik
3. teror/intended audience.
Definisi akademis tentang Terorisme tidak dapat diselaraskan menjadi definisi yuridis. Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini, Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan dengan Terorisme yaitu[:
1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (“Tokyo Convention”, 1963).
2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague Convention”, 1970).
3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (“Montreal Convention”, 1971).
4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protecred Persons, 1973.
5. International Convention Against the Taking og Hostages (“Hostages Convention”, 1979).
6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials Convention”, 1980).
7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988.
8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, 1988.
9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, 1988.
10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991.
11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United Nations General Assembly Resolution).
12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.

III. ANALISIS
Berdasarkan latarbelakang masalah dan definisi dari terorisme, maka analisis yang dapat diberikan oleh saya berhubungan dengan masalah terorisme di Indonesia bahwa masalah terorisme di Indonesia juga cukup kompleks meliputi masalah sosial, budaya agama, politik dan lain-lain.
a. Terorisme dan masalah agama
Sangat menyesatkan bila mengatakan bahwa terorisme bersumber dari agama. Berbagai penjelasan yang menyesatkan sering kita dengan bahwa agama tertentu diklaim sebagai biangkeladi dari terjadinya terorisme, karena katanya agama tersebut mengajar untuk melakukan aksi-aksi terorisme. Pandangan dari dunia barat yang melihat agama Islam sebagai akar terorisme memang sangat menyesatkan. agama dalam hal ini tidak pernah terlibat, hanya hanya terorisme sering menggunakan agama sebagai alasan utama untuk berbuat tindakan terorisme. Agama menjadi korban dari terorisme.
Menurut Koran Sinar Harapan terbitan tanggal 20 Maret 2007 mengatakan bahwa Terorisme yang menggunakan ajaran agama sebagai alat penyebarannya lebih berbahaya dari penyebaran ideologi. Bahkan, ditengarai penyebaran terorisme melalui kedok agama ini akan makin intensif di Tanah Air. Oleh karenanya, pemerintah dan kalangan pemimpin agama harus ekstrahati-hati menangani hal ini. Apalagi, penyebaran ajaran ini kerap mendompleng kondisi kemiskinan yang dialami masyarakat. Demikian dinyatakan oleh mantan Panglima Laskar Jihad Jafar Umar Thalib dan pengamat intelijen Dr Wawan Purwanto, dalam kesempatan terpisah, Senin (19/3).
”Kelompok teroris ini sangat licik karena mereka menipu ajarannya dengan diberikan label-label Islam. Soal pendanaan kelompok ini akan melakukan apa saja termasuk perampokan akan dinyatakan halal dengan dalih demi Islam,” tukas Jafar Umar.
Jafar menjelaskan kekerasan yang terjadi di Poso dan Ambon adalah wujud dari keinginan teroris menyebarkan ajarannya.
Ia pun menuding adanya kelompok tertentu yang bertameng di balik dalil “penegakkan syariat Islam” untuk menyebarkan ajaran bernuansa terorisme yang tak sejalan dengan nilai-ilai Islam. “Kelompok ini sangat licik karena memperalat agama untuk tujuan tersembunyi. Rata-rata orang Islam di Indonesia sebenarnya tidak bisa menerima ajaran kekerasan yang dikembangkannya, tapi dalam jangka panjang, ajaran seperti ini tidak mustahil akan diterima meski sangat terpaksa,” katanya.
Penjelesana yang lebih tegas datang dari Megawati dan Presiden Bush yang menyatakan bahwa hendaknya kita menolak untuk pengaitan antara terorisme dan agama. Keduanya menekankan bahwa terorisme merupakan pelanggaran terhadap kebenaran ajaran semua agama dan sepakat untuk bekerja bersama dalam meningkatkan dialog antaragama di masing-masing negara dan di luar negeri.
Keduanya juga setuju bahwa serangan teroris terhadap warga sipil yang tidak berdosa tidak dapat dibenarkan. Pada kesempatan itu Presiden Bush menekankan bahwa perang melawan terorisme bukan merupakan perang terhadap Islam. Ia juga menyatakan kekaguman serta penghargaan yang besar terhadap sejarah panjang toleransi beragama maupun paham Islam yang moderat di Indonesia.

b. Terorisme dan masalah ekonomi
Menurut Wapres Yusuf Kalla bahwa masalah radikalisme yang menimbulkan terorisme sangat erat kaitannya dengan masalah ekonomi. Penjelasan serupa juga diberikan oleh seorang pakar ilmu ekonomi yang mengatakan bahwa segala kekacauan, bom bunuh dari dan bom Bali yang melatarbelakanginya adalah masalah ekonomi. Ia mengatakan bahwa Pasti ada alasan khusus mengapa Dr Azhari dan Noordin M. Top memilih Indonesia sebagai sasaran aksinya? Mengapa tidak di negaranya sendiri Malaysia yang notabene penduduknya terbesar beragama Islam dan secara politik dan ideologis juga sangat kritis terhadap pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya, terutama Israel? Ada pendapat yang menyebut bahwa "dagangan" Azhari dan Noordin tidak laku di Malaysia karena secara ekonomi rakyat Malaysia relatif lebih makmur apalagi jika dibandingkan Indonesia. Kemapanan seseorang secara ekonomi akan membuat mereka bisa berpikir lebih jernih, jangka panjang, dan tidak mudah terprovokasi.
Bisa jadi, selain doktrinasi secara ideologis, para pelaku bom bunuh diri diberi iming-iming materi. Artinya, jika mereka bersedia menjadi martir dalam sebuah aksi terorisme, kehidupan ekonomi keluarganya dijamin. Iming-iming materi yang makin memantapkan pelaku bom bunuh diri menjalankan aksinya itu belum terungkap ke publik. Tentu saja, sebelumnya mereka mendapatkan brain washing dari para trainer yang malah ogah melakukan sendiri aksi bunuh diri itu.
Pada tataran yang lebih global, kegiatan terorisme yang terjadi di Indonesia merupakan perang kepentingan politik ekonomi yang lebih besar. Setelah Perang Dunia II berakhir, dunia memasuki era Perang Dingin antara Uni Soviet dan AS. Pada era ini, ada perlombaan persenjataan, perebutan pengaruh ideologi, dan peningkatan fungsi spionase (mata-mata/intrik intelijen) tanpa ada perang konvensional terbuka. Upaya lain yang tak kalah pentingnya adalah melalui tekanan ekonomi, pergerakan diplomatik, propaganda, dan bahkan pembunuhan. Pada era Perang Dingin ini, kemampuan AS memanipulasi negara-negara Islam dan kelompok-kelompok Islam di dunia untuk berada di pihak mereka –dengan masuk dan menyusup serta memberikan simpati-simpati palsu yang pada dasarnya hanya menguntungkan kepentingan negara mereka sendiri– pada akhirnya mampu mengalahkan ideologi komunis Uni Soviet dan kroninya. Kepandaian kaum kapitalis pimpinan AS dalam membaca dan mempengaruhi berbagai aliran dan kelompok Islam –yang secara tegas dan nyata menentang ideologi komunis– memberikan keleluasaan kepada kaum kapitalis liberal untuk memperalat umat Islam dan negara-negara Islam sebagai ujung tombak melawan kaum komunis.
Setelah berakhirnya era Perang Dingin, dunia bipolar berubah menjadi unipolar. Pada masa ini terjadi transformasi radikal dalam tata hubungan Timur-Barat dan Barat-Islam. Berbagai bentuk keterbatasan AS membuat mereka memutar otak untuk dapat mempengaruhi dan memenangkan dominasi atas dunia. Maka metode yang efektif dan efisien untuk memenangkan dominasi ini adalah jalan propaganda. Kerajaan ekonomi dunia yang dikuasai oleh AS tetap eksis dan bertahan dengan segala keterbatasan sumber daya alam yang mereka miliki. Filsafat ekonomi-politik neoliberalisme memandang manusia beserta seluruh aspeknya semata-mata sebagai homo economicus dan menetapkannya sebagai satu-satunya model yang mendasari tindakan relasi manusia. Di antara propaganda mereka adalah senjata pemusnah massal yang dapat membahayakan dunia. Dengan alasan itu AS menginvasi Irak. Setelah Irak takluk, AS melakukan propaganda lanjutan dengan cara membayar dan menyogok koran-koran Irak melalui perusahaan Lincoln Group agar memberitakan bahwa pihaknya yang telah menjatuhkan kelompok-kelompok perlawan di Irak dan keberhasilan AS membangun kembali Irak. Lusinan artikel ditulis militer dan Departemen Pertahanan AS yang kemudian ”dipaksakan” dimuat di koran-koran Irak sebagaimana diungkap Los Angeles Time seperti dilansir Sydney Morning Herald.
Propaganda yang akhir-akhir ini sering didengungkan AS dan kroninya adalah terorisme. Dibalik isu itu, sebenarnya tersembunyi ketakutan besar yaitu bangkitnya kekuatan khilafah Islam dan kekuatan ekonomi Cina dan India. Propaganda untuk menghambat bahkan menutupi perjuangan umat Islam semakin tampak jelas. Berbagai pemikiran tentang konsep Barat terhadap pandangan-pandangan Islam muncul. Ideologi Islam pun selalu dipertentangkan dengan berbagai pemikiran kapitalis liberal mereka. Modus operandi ideologi yang digunakan untuk melemahkan lawan ideologi AS dan sekutunya adalah unifikasi dan fragmentasi. Yang pertama adalah menempatkan bahwa seolah-olah kaum kapitalis liberal beserta seluruh ideologinya adalah yang benar dan membawa misi Tuhan serta wajib disebarluaskan. Juga menempatkan ideologi selain kapitalisme liberal sebagai sebuah sistem yang jahat, kejam, tidak berperikemanusiaan, diktator, dan pengikut setan.
Hal itulah yang menjelaskan mengapa AS selalu memasukkan Irak dan Afghanistan –sebelum diinvasi– dan Iran ke dalam ”poros setan”. Hal ini pula yang menjawab mengapa George Walker Bush mengatakan ”Tuhan berbisik dan menyuruhnya berperang di Afghanistan dan Irak untuk mengakhiri tirani dan kediktatoran.”Modus operandi yang kedua adalah dengan memecah belah umat Islam sehingga muncullah kelompok-kelompok Islam dengan julukan moderat, liberal, kultural, radikal, fundamentalis dan sebagainya. Kelompok-kelompok Islam yang mendukung dan mengusung ideologi kapitalis liberal dimunculkan sebagai ‘Islam yang benar’, Islam yang sesungguhnya, dan Islam demokratis.

c. Terorisme dan masalah sosial
Selain masalah ekonomi, faktor yang turut membangkitkan terorisme adalah maraknya ketidakadilan dan kelaliman. Ketidakadilan menyebabkan masyarakat miskin dan terkapar kelaparan. Ketidakadilan menyebabkan pengangguran, dan mudah tergiur dalam rekrutan jaringan teroris. Ketidakadilan seakan menjadi sumbu untuk menyulut ratusan bom siap diledakkan oleh teroris. Kalau hari ini, ideologi kekerasan masih tumbuh makmur, karena ketidakadilan dan kemiskinan dipelihara oleh negara. Bukankah dengan naiknya BBM telah menambah jumlah kemiskinan penduduk menjadi 68 %. Jadi negara telah berhasil meningkatkan kemiskinan rakyat. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan, aksi teror dari beberapa kelompok yang mengusik masyarakat murni bukan didasari nilai keagamaan semata-mata. Tetapi menurut Din mengatakan, aksi teror merupakan buntut dari masalah-masalah sosial yang berkembang di masyarakat.
Selain masalah-masalah di atas, ada satu masalah juga yang bisa menimbulkan terorisme adalah pemerintah itu sendiri. Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masdar F Mas'udi mengatakan bahwa pemerintah secara tidak langsung telah memperbesar sumber timbulnya terorisme. Ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan yang tak tertangani, menurutnya, sumber utama munculnya aksi terorisme. Ia menganggap, kenaikan gaji pejabat tinggi juga adalah sumber terorisme. "Kalau pemerintah bertanggung jawab untuk mengurangi ketidakadilan justru memperbesar ketidakadilan itu sama dengan pemerintah menginginkan semua rakyat Indonesia menjadi teroris," kata
dia dalam seminar "Terorisme Atasnama Agama, Benarkah?" di Solo, Ahad (15/1). Menurut Direktur Pusat Pengembangan Pondok Pesantren dan Masyarakat itu, ada tiga faktor utama munculnya aksi terorisme. Pertama adalah ketidakadilan yang membuat satu pihak merasa tidak lagi memiliki ruang gerak untuk melakukan negosiasi agar mereka mendapatkan keadilan. Faktor yang kedua adalah kemiskinan dan kebodohan yang menyebabkan sebagian dari masyarakat merasa tidak berguna atau tidak memiliki makna dalam hidupnya. "Faktor ketiga adalah faktor pembenaran yang berasal tafsir agama. Faktor ketiga ini sebenarnya hanya faktor tersier dalam terorisme," ujar Masdar.

d. Terorisme dan masalah budaya
Menurut Benny Mamoto dalam disertasi doktoralnya mengatakan Penanganan Terorisme dapat dilakukan dengan Pendekatan Budaya. Bagi dia, Penanganan kasus-kasus teror di Indonesia selama ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan hukum. Sebaliknya, anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang terlibat tindak pidana terorisme mendasari tindakannya dengan keyakinan agama. “Kelompok tersebut juga mempersepsikan tindakannya sebagai sebuah perjuangan suci dan bukan tindakan kriminal atau terorisme,” kata Sekretaris NCB Interpol Markas Besar Polri Benny Jozua Mamoto saat mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi doktor bidang Kajian Ilmu Kepolisian, Sabtu (23/8) pagi, di Kampus Universitas Indonesia, Depok.
Menurut perwira berpangkat komisaris besar itu, tindakan keras aparat keamanan, sanksi hukum yang berat sampai risiko kematian tidak menyurutkan niat para teroris. Dia mengungkapkan, tindakan keras aparat dan sanksi hukuman yang berat justru dapat dipersepsikan sebagai tindakan represif pemerintah, sehingga hal itu dapat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan pembalasan yang pada gilirannya akan menimbulkan lingkaran terorisme. Dalam disertasinya bertajuk “Penanganan Polri Ter- hadap Organ Teror Dalam Al- Jamaah Al-Islamiyah” , Benny memaparkan, kasus terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan secara luar biasa pula. Untuk mengurangi berkembangnya lingkaran terorisme, Satgas Bom Polri menggunakan pendekatan yang bersifat khusus, yaitu pendekatan budaya. Karena, motivasi tindakan para pelaku berlatar belakang budaya, dalam hal ini keyakinan keagamaan. Kemampuan pengendalian budaya Satgas Bom Polri, yang sudah dapat dipastikan menimbulkan resistensi sangat tinggi. Resistensi akan semakin tinggi apabila pihak yang kuat, dalam hal ini Satgas Bom Polri, memaksakan kehendaknya dengan menggunakan berbagai cara kekerasan. “Sebaliknya, resistensi akan dapat dikurangi apabila anggota Satgas Bom Polri mau mempelajari dan memahami budaya yang berlaku di organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyyah, ” katanya.
Interaksi dan komunikasi tersebut, lanjutnya, dapat dilakukan karena para pelaku tindak pidana terorisme adalah orang-orang yang sehat jiwanya. Benny mengutip pendapat guru besar kriminologi Tb Ronny Nitibaskara, bahwa mereka umumnya mampu berlaku santun, penuh perhitungan, dan ketat menjaga keyakinan agamanya. Kegiatan yang dilakukan oleh Satgas Bom Polri guna penyidikan menggunakan tindakan diskresi kepolisian karena hal tersebut tidak lazim dilakukan pada penanganan kasus pidana biasa. Program ini tidak dipublikasikan secara terbuka sehingga sering terjadi salah pengertian dari masyarakat. Beberapa bentuk kegiatan untuk membuka wawasan berpikir, membuka ketertutupan lingkungan, dan melihat realitas kehidupan.
e. Terorisme dan masalah politik, hukum dan HAM
Adalah kewajiban negara (state duty) untuk mencegah dan memerangi terorisme. Secara prosedural, kewajiban ini menimbulkan dilema antara keniscayaan pemberian diskresi kewenangan kepada institusi negara di satu pihak dan keharusan negara untuk tetap melindungi kebebasan sipil (civil liberties), terutama yang termasuk ke dalam rumpun non-derogable rights, di pihak lain. Kebijakan untuk memerangi terorisme harus senantiasa bertolak dari beberapa prinsip dalam penjelasan Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil, Terorisme dalam Pergulatan Politik Hukum (2003), disebutkan antara lain; pertama, perlindungan kebebasan sipil serta penghargaan dan perlindungan hak-hak individu. Pembatasan terhadap hak-hak demokratik seperti itu hanya dapat dilakukan terhadap hak yang TIDAK termasuk ke dalam non-derogable rights, dalam jangka waktu sementara, dan untuk kepentingan publik.
Kedua, Pembatasan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Ini dapat dilakukan dengan menerapkan sepenuhnya prinsip checks and balances dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan, spesialisasi fungsi institusi pelaksana kebijakan, dan tersedianya mekanisme akuntabilitas publik bagi pelaksanaan kebijakan. Negara mempunyai kewajiban untuk tetap mengutamakan kepentingan publik. Terorisme merupakan fenomena yang sangat kompleks. Sebagai fenomena politik kekerasan, kaitan antara terorisme dan aksi-aksi teror tidak dapat dirumuskan dengan mudah. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alasan-alasan idiosinkratik, kriminal, maupun politik. Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran sesungguhnya, tetapi hanya sebagai bagian dari taktik intimidasi, koersi, ataupun propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kesamaaan tindakan terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas.
Perkembangan teknologi dan globalisasi telah menjadikan ancaman terorisme semakin serius dan kompleks karena ketersediaan sumber daya dan/atau metoda baru. Oleh karena itu upaya pemberantasan terorisme tidak mungkin dilakukan hanya secara nasional semata.
Tatanan demokrasi mengutamakan keunggulan cara-cara persuasif, negosiasi, dan toleransi ketimbang cara-cara koersif, pemaksaan, dan penggunaan kekerasan. Konsolidasi demokrasi hanya dapat tercapai ketika semua pelaku politik menempuh cara-cara demokratik sebagai satu-satunya aturan main (the only game in town) dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan demikian, merebaknya aksi-aksi teror merupakan ancaman serius terhadap demokrasi itu sendiri.
Meskipun perubahan politik sejak 1998 telah membuka ruang demokrasi, tetapi institusi, praktek dan kultur yang demokratis belum sepenuhnya terwujud. Perlindungan HAM, misalnya, masih belum sepenuhnya ditegakkan. Kontrol publik terhadap kekuasaan negara masih belum terjamin keberlangsungannya. Dengan kata lain, meskipun hak-hak warga mulai diakui, kekuasaan eksesif dan hegemoni negara belum sepenuhnya terkikis.
Masalah terorisme dan kewajiban untuk melawannya, telah memperumit proses transisi itu. terorisme dan penanggulangannya telah memunculkan tantangan bagi negara-negara demokrasi dalam mencari keseimbangan di antara security dan liberty. Dalam konteks itu, melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik dalam tataran anti maupun kontra terorisme.Undang-undang merupakan salah satu bagian dari upaya memberantas terorisme. Namun undang-undang harus menjamin keseimbangan antara security dan liberty.
Dalam kaitan memberantas masalah terorisme, sering kita juga diperhadapkan dengan masalah yang baru yakni HAM. Sesungguhnya perang melawan terorisme telah merusak tatanan hukum, baik itu secara nasional maupun secara internasional. Karena kampanye perang melawan terorisme didasarkan kepada suatu dasar hukum yang sangat elastis dan potensial melanggar hak asasi manusia. Terhadap persoalan ini, Wakil Khusus Sekjen PBB untuk urusan HAM secara tegas mengatakan bahwa “Ia sangat mengkhawatirkan pelanggaran HAM terhadap Negara-negara yang membuat undang-undang anti terorisme seperti Inggris, Australia, dan Indonesia. Apalagi sampai saat ini definisi terorisme masih belum disepakati secara bersama.
Sekarang ini, diseluruh belahan dunia, tengah terjadi titik balik perang terhadap terorisme. Bahkan di Amerika, Negara yang mengkampanyekan perang melawan terorisme secara arogan mendapatkan tentangan dari masyarakatnya sendiri. Tindakan-tindakan yang ditandai dengan penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detentions), pelanggaran terhadap due process law, dan penahanan secara rahasia (secret arrest) mendapatkan “perlawanan” sedemikian rupa, dimana polarisasi “perlawanan” tersebut semakin hari semakin kuat.
Ini tentunya merupakan sebuah hal yang sangat menarik untuk dipertanyakan. Kenapa muncul perlawanan-perlawanan demikian? Menjawab pertanyaan seperti ini tentu tidaklah mudah. kendatipun demikian, menarik mencermati pendapat salah seorang analisis militer terkemuka bernama Cohen. Yang menyatakan bahwa perang melawan terorisme merupakan suatu bentuk persaingan yang berkaitan dengan masalah-masalah politis dan agama, bukan berkenaan dengan penjahat.
Dari titik ini, dapat disimpulkan bahwa munculnya perlawanan terhadap perang terhadap terorisme yang dilakukan oleh Amerika lebih disebapkan bahwa perang ini pada dasarnya merupakan perang bermotifkan politis dan agama, dengan “menu utama” pelecehan terhadap hukum internasional dan pelanggaran HAM terhadap orang yang bukan penjahat, sehingga tidak menyentuh sama sekali persoalan kebijakan criminal terhadap para pelaku terorisme itu sendiri. Kembali kepada permasalahan tindakan negative yang dilakukan oleh aparat Densus 88, hal yang paling penting dilakukan adalah tetap memproses kasus ini secara proporsional mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian, penembakan yang dilakukan harus diusut secara hukum demi tercapainya kepastian hukum dan keadilan hukum.
Hal ini penting dilakukan agar persoalan penembakan ini tidak menjadi “bola liar” bagi proses penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak pidana terorisme. Karena harus di pahami bersama, bahwa tidak ada satupun ketentuan hukum yang membenarkan tindakan aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum secara sewenang-wenang. Terlebih jika kita melihat rumusan pasal pasal 28 point D dan point 28 I Undang-undang dasar 1945, yang secara implicit menyatakan bahwa hak tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dalam kaitan ini, perlu ditegaskan bahwa tidak ada relevansi antara penegakan hukum terhadap tersangka pelaku tindak pidana terorisme dengan tindakan penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat densus 88. Sederhananya, penegakan hukum terhadap Abu Dujana tetap harus dilakukan. Sementara terhadap pelaku penembakan harus pula diusut secara tuntas, meskipun hal tersebut harus dilakukan terhadap aparat penegak hukum yang berhasil menangkap tersangka pelaku tindak pidana. Kedepan, dengan adanya kejadian ini, diharapkan aparat kepolisian, khususnya Densus 88 mampu menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya secara professional, dengan mengedepankan Keahlian (expertise), rasa tanggung jawab (responsibility) dan kinerja terpadu (corporateness). Sehingga tidak lagi melakukan tindakan-tindakan kontra-produktif dalam menangani kasus-kasus terorisme, apalagi melakukan teror teroris.
Pendapat serupa juga datang dari Hammarberg yang mengatakan bahwa Perang melawan teror menimbulkan terorisme baru dalam masalah hak asasi manusia. Komisi Hak Asasi Uni Eropa menyatakan, kampanye 'perang melawan teror' justeru menyebabkan banya orang tak berdosa dilecehkan dan dilanggar hak-haknya. "Bukan hanya terorisme, tapi reaksi kita terhadap terosime juga menimbulkan ancaman yang panjang dan sudah berurat akar terhadap perlindungan hak asasi manusia," kata Komisaris Dewan HAM Eropa, Thomas Hammarberg. Ia menambahkan, perang melawan teror juga telah melanggar hal-hal yang bersifat pribadi bagi setiap orang. Kebijakan memata-matai orang yang diberlakukan secara pukul rata, kata Hammarberg, menimbulkan persoalan demokrasi yang serius. Kebijakan pengumpulan data untuk keperluan perang melawan teror telah membuka seluruh kehidupan pribadi orang lain, mulai dari kehidupan keluarga, budaya, agama, afiliasi politik, kondisi keuangan sampai laporan kesehatan. "Di satu sisi, negara harus melindungi rakyatnya terhadap ancaman terosime. Di sisi lain, mereka juga harus melindungi hak-hak dasar setiap individu, termasuk orang yang dicurigai atau didakwa melakukan kegiatan terorisme," tukas Hammarberg. Ia menegaskan, dalam upaya memberantas terorisme dan kejahatan kemanusiaan, standar-standar dan prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak boleh diabaikan, tapi harus ditegakkan. "Terorisme memang harus dilawan, tapi dengan tidak mengorbankan perlindungan terhadap HAM," tandas Hammarberg

IV. KESIMPULAN
Masalah Terorisme yang terjadi di Indonesia memang sangat complicated. Pemerintah diperhadapkan dengan masalah-masalah yang sangat rumit. Jika pemerintah ingin mengambil suatu tindakan yang tegas kepada para pelaku terror maka ia diperhadapkan dengan masalah HAM. Tetapi apabila dibiarkan maka tindakan terorisme akan semakin merajalela. Oleh sebab itu upaya apa yang dapat dilakukan untuk memadamkan terorisme di Indonesia? Melawan terorisme merupakan pekerjaan yang berat. Oleh sebab itu tugas tersebut tidak bisa diserahkan begitu saja pada satu pihak, dalam hal ini negara. Apalagi negara kita dalam kondisi yang labil dan transisi. Dalam kondisi seperti itu di mana negara nyaris menjadi tertuduh dan tidak berdaya, sangat sulit berharap padanya. Untuk itulah perlu ada elemen lain yang mampu mengambil peran signifikan dalam merespons terorisme. Idealnya elemen itu adalah institusi perdamaian, di mana di dalamnya terdapat pengikut (jamaah) baik tokoh maupun masyarakat awam. Pertanyaan memang muncul, mungkinkah institusi perdamaian tersebut berperan memerangi terorisme? Inilah problem yang sangat rumit, lebih-lebih jika institusi tersebut jauh-jauh hari sudah dituduh memiliki andil dalam aksi terorisme. Namun, saya berpendapat barangkali perlu kita berharap pada institusi perdamaian untuk turut memerangi terorisme. Persoalannya, institusi yang seperti apa, bagaimana, serta kapan hal itu bisa berfungsi, menjadi beban tersendiri. Ketika berbagai peristiwa peledakan bom, granat, dan pembakaran fasilitas publik terjadi, kita terbelalak karena ada tuduhan peristiwa tersebut berkaitan dengan institusi agama. Sekalipun analisa ini tidak mutlak benar, tetapi dengan tertangkapnya beberapa pelaku yang beridentitas agama dan mereka mengakui tuduhan, kita tidak lagi bisa mengelak begitu saja, bahwa institusi agama tidak terkait dengan berbagai aksi teror.
Apalagi sasaran operasinya adalah tempat-tempat yang disucikan oleh umat beragama, seperti gereja, masjid, dan sekolah-sekolah berlabel agama. Itu semua jelas mempersulit alasan bahwa institusi agama tidak terlibat. Tetapi benar bahwa semua peristiwa tidak berdiri sendiri, senantiasa terkait dengan fenomena lain yang barangkali lebih akut, namun tidak mampu menjadi pemicu utama terjadinya aksi terorisme. Institusi agama dipilih karena institusi ini memang masih mampu menjadi pemicu utama terjadinya konflik kekerasan yang memakan korban manusia. Kendaraan Politik Berdasarkan kondisi institusi agama yang carut-marut dan berlumuran darah, realistiskah kita berharap pada agama untuk turut serta memerangi terorisme? Ini barangkali pertanyaan yang diajukan publik negeri ini. Buat apa berharap pada agama, kalau agama ternyata tidak lebih sekadar ''kendaraan'' politik untuk meraih kesempatan, kelezatan, dan keglamoran sesaat? Masihkah kita percaya pada tokoh-tokoh agama yang kerjanya bersilat lidah. Masihkah agama relevan untuk abad sekarang, di mana tawaran-tawaran agama sangat abstrak dan berbau eskatolis. Dan segudang pertanyaan lainnya yang mungkin bisa dianggap menggugat kehadiran agama di muka bumi. Disebabkan rendahnya martabat institusi agama untuk mampu mengambil peran dalam melawan terorisme, maka institusi perdamaian dapat mengambilalih dalam memerangi terorisme. Mengapa harus institusi perdamaian? Hal ini karena, apabila kita hendak memerangi terorisme yang biadab, melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, tanpa hati nurani dengan kekerasan, maka yang akan berkembang adalah menghadirkan kekerasan secara terlembaga.
Kekerasan terlembaga ini yang harus kita hindari, karena akan menghadirkan bentuknya yang paling sempurna tentang strong state, dan state of horror. Bentuk negara yang demikian mengerikan, tentu tidak kita inginkan karena akan memperpanjang daftar terorisme buat warga sipil. Oleh sebab itulah, institusi perdamaian yang mampu menghadirkan kebijakan, rasa aman, mengutamakan dialog dan kerja sama harus segera dikerjakan, dan diwujudkan. Kita tidak boleh terkecoh untuk serta merta melawan terorisme dengan kekuatan senjata. Sebab perlawanan fisik hanya akan membuat pelaku teror lebih nekat. Dengan menggunakan akal sehatlah kita harus melawan terorisme. Terorisme yang dilawan dengan kekerasan akan menimbulkan terorisme bentuk baru, yang hakikatnya sama saja mengancam pihak lain. Memang dengan membentuk sebuah institusi perdamaian belum menjamin akan terjadi dialog antara teroris dan penggagas perdamaian. Namun paling tidak institusi tersebut dapat berfungsi sebagai lembaga yang akan melakukan pengkajian secara teoritik, menganalisa fakta-fakta serta merenungkan apa yang terjadi, sehingga akan mengambil kebijakan yang sifatnya kontemplatif. Apa yang pernah dilakukan Mahatma Gandhi di India ketika melawan kolonisasi dengan gerakan non violence (tanpa kekerasan) saya kira dapat menjadi pelajaran berharga. Betapa gerakan itu ternyata membuahkan hasil, yakni penjajah keluar dari India dan rakyat India tidak banyak yang menjadi korban. Mahatma Gandhi beserta pengikutnya memilih jalan non-kekerasan, karena menyadari apabila penjajahan dilawan dengan kekerasan, akan semakin marah dan balas dendam. Beberapa kasus peperangan di daerah ketika melawan penjajah di Nusantara, telah memberikan pelajaran betapa penjajah apabila dilawan dengan kekuatan senjata, ternyata mereka akan melawan dengan senjata dan kekuatan yang lebih dah syat. Penjajah toh sebenarnya sama dengan terorisme. Terorisme juga demikian.
Oleh karena itu, melawan terorisme dengan senjata dan kekerasan hanya akan melahirkan bentuk-bentuk terorisme lain yang mungkin lebih membahayakan. Apa yang terjadi belakangan, ketika kita beramai-ramai melawan terorisme bergandeng tangan dengan negara-negara asing, peledakan bom, pembakaran, dan ancaman terus bermunculan di mana-mana. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil ketika hendak melawan terorisme dengan kekerasan. Teroris ternyata tidak gentar, atau menyerah atas perlawanan tersebut, malah semakin menjadi-jadi. Saya setuju terorisme harus dimusnahkan, hanya saja dengan cara-cara yang tidak menimbulkan banyak korban. Melawan terorisme dengan memperkecil korban, adalah langkah yang paling tepat. Pendek kata, perang melawan terorisme barangkali harus dengan akal sehat, sekalipun pekerjaan terorisme sangat bertentangan dengan akal sehat dan biadab

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip

The Best Time For Reading

calendars

Chating Ria


ShoutMix chat widget

This is Me

This is Me

Mengenai Saya

Foto saya
kalu udah melakukan sesuatu biasanya akan lupa ama hal lain, n yang paling sering dilakukan adalah belajar maka sering lupa ama makan....

teman-teman

Dafar Pengunjung