Tulisan ini merupakan perluasan dari Bahan Pemahaman Alkitab Sinode GKI, yang berjudul “Perintah Allah atau Adat-Istiadat” (Lentera Umat, Minggu 1, Juli 2008). Untuk itu saya mengusulkan tinjauan sinoptis atas kisah “pembasuhan tangan” di Matius 15:1-20 dan Lukas 11:37-41. Tinjauan sinoptis berguna untuk menemukan kalimat-kalimat khusus yang ada di sebuah injil yang tidak ditemukan di injil lain atau, sebaliknya, kalimat-kalimat yang sama-sama ada di semua injil. Demi memudahkan pembahasan, kisah ini dibagi menjadi empat bagian. | | BAGIAN PERTAMA: Ketika Adat Istiadat Nenek Moyang Dilanggar | Matius 15:1-2 | Markus 7:1-5 | 1 Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata: 2 “Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.” | 1 Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. 2 Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. 3 Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; 4 dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. 5 Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” | | Seperti biasa, kelompok Yesus mengalami konflik dengan para agamawan (ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi dan Saduki). Kali ini, dua kelompok pertama yang mendatangi Yesus dan para murid-Nya. Isu yang memicu pertikaian kedua kelompok ini adalah ketika para murid Yesus tidak membasuh tangan mereka sebelum makan. Menurut versi Lukas, malah Yesus sendirilah yang tidak membasuh tangan sebelum makan (Lk. 11:38). Isu pemicu ini lantas melebar pada persoalan “adat istiadat nenek moyang.” Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tersebut datang “dari Yerusalem,” yang pada masa itu menjadi pusat otoritas keagamaan orang-orang Yahudi. Pertanyaan yang muncul, tentu, apa hubungan antara “adat istiadat nenek moyang” dan “hukum agama.” Antara budaya dan agama. Haruslah dipahami bahwa dalam masyarakat kala itu, budaya dan agama bertumpang-tindih tanpa dengan mudah dibedakan. Dan para agamawan tersebutlah yang menjadi “polisi” yang mengawasi dan menjaga pemeliharaan hukum agama dan budaya tersebut. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah “adat istiadat nenek moyang”? Agaknya, istilah ini merujuk pada penjabaran Dasa Titah (sepuluh Hukum) ke dalam ratusan perintah dan larangan, yang berlangsung setelah umat Israel keluar dari Pembuangan. Kesadaran bahwa Pembuangan di Babel merupakan bentuk penghukuman Allah kepada umat Israel yang berdosa melahirkan pemahaman bahwa Taurat harus ditaati sebaik mungkin. Untuk itulah, ratusan perintah dan larangan itu dirumuskan. Salah satunya adalah perintah untuk membasuh tangan sebelum makan. Jadi, apa yang dimaksud dengan “adat istiadat nenek moyang” itu sekaligus bersifat kultural dan religius. Dan para petinggi agama itulah yang menjadi “polisi iman” untuk memastikan bahwa semua orang Israel menaati rangkaian perintah dan larangan tersebut. Itu sebabnya, versi Markus dengan jelas menunjukkan contoh-contoh lain yang dirumuskan dan bahkan “banyak warisan lain lagi yang mereka pegang” (ay. 2-4; bdk. ay. 13b, “Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan”). Maka, bisa kita bayangkan, betapa ruwet dan rumitnya menjadi seorang Yahudi yang baik. Karena untuk itu, seseorang harus menaati ratusan perintah dan larangan itu. Kualitas hidup lantas diukur secara normatif dan legalistis. Dan, celakanya, seluruh perintah dan larangan imbuhan itu dijustifikasi secara religius, seolah-olah semuanya itu pun merupakan perintah Allah. Melanggar satu perintah atau larangan tidak saja berarti penghinaan terhadap nenek moyang, namun juga pelanggaran hukum Allah sendiri. Itu sebabnya, tatkala para murid tidak membasuh tangannya, orang-orang Farisi dan ahli Taurat berkata bahwa mereka telah “makan dengan tangan najis?” (Mk. 7:2, 5). Kata “najis” di sini merupakan penilaian religius, bukan sekedar kultural. Bagaimana Yesus menjawab gugatan kelompok agamawan ini? | | BAGIAN KEDUA: Jawaban Pertama Yesus: Pembedaan antara Perintah Allah dan Adat Istiadat Nenek Moyang | Matius 15:3-9 | Markus 7:6-13 | 3 Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? 4 Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. 5 Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, 6 Orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri. 7 Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: 8 Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. 9 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” | 6 Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang- orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. 7 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. 8 Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” 9 Yesus berkata pula kepada mereka: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. 10 Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. 11 Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban–yaitu persembahan kepada Allah–, 12 maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya. 13 Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.” | | Yesus menjawab gugatan kaum agamawan ini dengan dua cara jitu. Cara pertama, sebagaimana dimunculkan dalam bagian kedua di atas, dilakukan lewat pembedaan antara perintah Allah dan adat istiadat. Keduanya tak boleh disamakan. Adat istiadat nenek moyang, sebaik apa pun motif dan alasan perumusannya, bukanlah perintah Allah. Semuanya hanyalah cara nenek moyang Israel, yang diteruskan hingga zaman Yesus, untuk mengekspresikan ketaatan mereka pada perintah Allah. Namun, pada dirinya sendiri, mereka bukanlah perintah Allah. Pembedaan yang Yesus lakukan mengambil contoh satu dari Dasa Titah (“hormatilah ayahmu dan ibumu”) dan membenturkannya pada salah satu perintah pasca-Pembuangan agar setiap orang Israel memberikan uangnya untuk “persembahan kepada Allah.” Yesus menunjukkan bahwa para agamawan itu mengizinkan perintah pasca-Pembuangan dilakukan (persembahan kepada Allah) untuk mengganti hukum ke-5 dari Dasa Titah. Singkatnya, orang boleh mengalihkan uang, yang seharusnya dipergunakan untuk memelihara orangtuanya, untuk korban persembahan kepada Allah. Bagi Yesus, tindakan ini merupakan pelanggaran hukum Allah demi adat nenek-moyang. Sekalipun perintah tersebut dilakukan lewat persembahan kepada Allah. Maka, artinya, apa yang tampaknya dikerjakan untuk Allah bisa jadi malah melanggar perintah Allah. Dengan demikian justifikasi religius (“kepada Allah”) atas adat istiadat nenek moyang yang dilakukan oleh para agamawan ternyata gugur, justru karena bertentangan dengan perintah Allah yang utama (“hormatilah ayahmu dan ibumu”). Cara jitu kedua yang dilakukan Yesus muncul dalam bagian ketiga, namun yang sudah diperkenalkan lewat kutipan nabi Yesaya. Pada versi Matius kutipan tersebut diletakkan sesudah ucapan Yesus, sedang pada versi Markus diletakkan sebelum ucapan Yesus. Kutipan ini mengintroduksi cara Yesus yang kedua, yaitu dengan membedakan antara yang tampak dari luar dan yang ada di dalam hati. Antara “bibir” dan “hati.” Keduanya seharusnya konsisten dan manunggal. Namun, konsentrasi yang berlebihan pada adat istiadat nenek moyang dengan mudah membuat orang Israel hanya memuliakan Allah secara lahiriah (“memuliakan Aku dengan bibirnya”), namun tidak dibarengi dengan sikap hati yang mendekat pada Allah (“hatinya jauh dari pada-Ku”). | | BAGIAN KETIGA: Jawaban Kedua Yesus: Outside-In dan Inside-Out | Matius 15:10-11 | Markus 7:14-16 | 10 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka: 11 “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.” | 14 Lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka: “Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. 15 Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” 16 (Barangsiapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar!) | | Cara kedua Yesus dalam menjawab tuduhan para agamawan itu terpusat pada pemaknaan kata “najis.” Apa sesungguhnya yang membuat sesuatu itu najis atau halal? Kali ini ucapan Yesus dialamatkan bukan lagi pada orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, namun pada “orang banyak.” Bahkan, Yesus meminta mereka untuk mendengarkan dan mencamkan baik-baik ucapan-Nya. Hal ini menandakan bahwa ucapan Yesus selanjutnya menjadi inti dari pandangan Yesus. Ada perbedaan yang radikal antara apa yang berasal dari luar dan masuk ke dalam (outside-in) dan apa yang berasal dari dalam dan keluar (inside-out). Najis-tidaknya sesuatu bergantung pada kedua hal ini. Sementara yang pertama tidak menajiskan seseorang, yang kedualah yang bisa menajiskan seseorang. Ada baiknya kita berkenalan sejenak dengan tiga istilah teologis yang diusulkan oleh Paul Tillich, demi membantu kita memahami ucapan Yesus. Tillich membedakan tiga sumber normatif dalam hidup beragama: heteronomi, otonomi dan teonomi. Heteronomi berarti sumber hukum (nomos: hukum) yang asing, yang berasal dari luar kehidupan seseorang. Ia bisa berarti hukum agama, hukum sosial, dan lain-lain. Otonomi berarti hukum yang mengatur seseorang yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Ia bisa berarti pertimbangan moral, hati nurani, pemikiran, dan lain-lain. Dalam tradisi Israel hukum internal tersebut disimbolisasi lewat kata “hati” (Ibr.: lev), yang menjadi pusat pemikiran, perasaan, perenungan dan pertimbangan manusia. Seorang yang otonom tidak pernah melakukan sesuatu atas dasar desakan luar (kata orang, hukum sosial, tekanan masyarakat, dan sebagainya). Seseorang bersifat otonom ketika ia bisa mengambil sebuah tindakan atas dasar pertimbangan personal dan internalnya sendiri. Namun, otonomi bisa memiliki dua kemungkinan. Hati bisa menjadi sumber kebaikan dan keluhuran; namun ia juga bisa menjadi sumber kejahatan dan dosa. Itu sebabnya, Yesus berkata bahwa, sementara heteronomi (“apapun dari luar,” Mk. 7:15) tidak mungkin menajiskan seseorang, otonomi (“apa yang keluar dari seseorang,” Mk. 7:15) bisa menajiskan seseorang. Namun, tentu, bisa juga tidak menajiskan seseorang. Mungkin ilustrasi berikut ini bisa membantu kita memahami maksud Yesus. |  | Modus outside-in ditolak, karena sementara tindakan yang busuk pasti berasal dari hati yang buruk, tindakan yang baik belum tentu berasal dari hati yang baik. Di lain sisi, modus inside-out diterima, karena hati yang baik pasti memunculkan tindakan yang baik, sementara tindakan yang baik ternyata bisa jadi muncul dari hati yang buruk. Cara berpikir semacam ini akan makin jelas dalam bagian keempat di bawah ini. Namun, ada baiknya memperjelas nomos yang ketiga (di samping heteronomi dan otonomi), yaitu teonomi. Teonomi adalah hukum Allah, yang dalam kisah ini justru ingin dibela dan diproklamasikan oleh Yesus. Ketika teonomi dipandang secara legalistis dan formalistis maka ia segera menjadi heteronomi. Namun, teonomi sejati muncul ketika modus hukum Allah itu bekerja di dalam hati manusia. Yaitu, ketika teonomi dan otonomi jalin-menjalin, hingga akhirnya teonomi mentransformasi otonomi. Yang muncul kemudian adalah “hati yang baik,” yang pasti membuahkan “tindakan yang baik.” | | BAGIAN KEEMPAT: Percakapan Yesus dan Murid-Murid-Nya | Matius 15:12-20 | Markus 7:17-23 | 12 Maka datanglah murid-murid-Nya dan bertanya kepada-Nya: “Engkau tahu bahwa perkataan-Mu itu telah menjadi batu sandungan bagi orang-orang Farisi?” 13 Jawab Yesus: “Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut dengan akar-akarnya. 14 Biarkanlah mereka itu. Mereka orang buta yang menuntun orang buta. Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang.” 15 Lalu Petrus berkata kepada-Nya: “Jelaskanlah perumpamaan itu kepada kami.” 16 Jawab Yesus: “Kamupun masih belum dapat memahaminya? 17 Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban? 18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. 19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. 20 Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang. | 17 Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu. 18 Maka jawab-Nya: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, 19 karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal. 20 Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, 21.sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, 22 perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. 23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” | | Pada bagian akhir kisah ini, Yesus telah menarik diri dari kerumunan orang banyak dan berada hanya di kalangan murid-murid-Nya saja. Versi Matius secara khusus menunjukkan kekuatiran para murid bahwa perkataan keras Yesus dapat menjadi batu sandungan bagi para agamawan itu. Mereka sangat mungkin merasa terserang. Jawab Yesus: “Biarkanlah mereka itu!” Karena ketika harus memilih para agamawan yang membuat hidup beragama makin rumit atau Allah yang menjadi sumber kehidupan sejati, maka yang pilihan kedualah yang harus diambil. Yang menarik, para murid, yang sebelumnya telah menjadi sumber pertikaian karena tidak membasuh tangan sebelum makan, ternyata juga tak memahami maksud pengajaran Yesus. Artinya, mereka melakukan tindakan melanggar adat istiadat nenek-moyang tanpa tahu mengapa mereka melakukannya. Sekali lagi perbedaan antara outside-in and inside-out mencuat. Makanan yang masuk ke mulut, kata Yesus, hanyalah akan masuk ke perut dan turun ke jamban (outside-in). Dan karenanya, baik makanan apapun maupun makan dengan tangan tak dibasuh, tidak akan menajiskan. Yesus lantas membalik logika “adat istiadat nenek-moyang Israel.” Apa yang keluar dari dalam (inside-out) itulah yang menentukan. Jika yang di dalam (hati, lev) busuk, maka yang di luar akan najis pula, sekalipun tampil baik (misalnya: membasuh tangan sebelum makan). Sebaliknya, jika yang di dalam baik, maka yang keluar pastilah baik pula. Dengan logika semacam ini, injil Matius dan Markus sampai pada kesimpulan yang berbeda, namun saling melengkapi. Sementara Matius sampai pada kesimpulan bahwa “makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang” (ay. 20b), Markus berujung pada prinsip yang lebih radikal lagi, yaitu bahwa “semua makanan halal” (ay. 19b). Singkatnya, Matius lebih tertarik pada urusan awal, membasuh atau tidak membasuh tangan sebelum makan, sedang Markus lebih tertarik pada persoalan makanan itu sendiri. Yang menarik, versi Lukas berujung pada kesimpulan yang sama sekali berbeda dari kedua Injil sinoptis lainnya. Di dalam injil ketiga ini, Yesus menyatakan: Hai orang-orang bodoh, bukankah Dia yang menjadikan bagian luar, Dia juga yang menjadikan bagian dalam? Akan tetapi berikanlah isinya sebagai sedekah dan sesungguhnya semuanya akan menjadi bersih bagimu. (Lk. 11:40-41). Di satu sisi, Yesus dalam Injil Lukas berusaha menghimpun dimensi luar dan dalam bersama-sama. Keduanya harus dipandang sebagai milik Allah. Namun, di sisi lain, injil ini juga meneruskan prinsip yang sama dalam kedua injil lainnya, yaitu mementingkan yang “di dalam” lebih dari yang “di luar,” juga dengan prinsip inside-out. Yang berbeda adalah bahwa yang di dalam (“isinya”) harus terwujud ke luar dalam bentuk sedekah atau kepedulian pada orang lain. Ketika hal itu terjadi, maka seluruh hidup manusia menjadi “bersih.” | | Sebuah Refleksi Akhir | Kita telah melihat bahwa pada akhirnya kisah perdebatan Yesus dan para agamawan dalam teks kita tidak semata-mata berbicara soal adat-istiadat. Saya sudah berusaha memaparkan bahwa pembedaan antara heteronomi, otonomi dan teonomi mampu membantu kita dalam memahami teks ini dengan lebih baik. Setiap manusia dewasa diundang untuk menjadi pribadi otonom, yang memutuskan sesuatu bukan atas dasar otoritas dari luar, apa pun itu: agama, budaya, masyarakat dan sebagainya. Seorang pribadi otonom menga integritas antara hati dan tingkah laku. Namun, menjadi pribadi otonom tidak cukup. Hukum Allah juga seharusnya bekerja mengubah pribadi otonom, sehingga inner self seseorang diubah dan berubah. Hanya dalam konteks itu percakapan perihal adat-istiadat memperoleh maknanya. Seorang Kristen diundang untuk merayakan kehidupan, salah satunya, melalui adat dan kebudayaan asalnya. Namun, sikap kritis atas kebudayaan juga perlu diajukan. Jika sebuah adat atau nilai budaya menjauhkan seseorang dari Tuhan atau dari tugasnya merawat kehidupan sesama, maka adat atau nilai budaya tersebut perlu ditolak. Sebaliknya, adat dan kebudayaan yang sehat, yang menampilkan inner and true self yang sejati perlu diyakini sebagai sebentuk cara menghayati kehidupan yang bermakna. | |
0 komentar:
Posting Komentar